Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dari Isra Sosial Hingga Mi'raj Spiritual

Dari Isra Sosial Hingga Mi'raj Spiritual
Oleh Taufik Munir

Di penghujung tahun keempat kerasulan Muhammad, jumlah kaum Muslimin sedikit demi sedikit mulai bertambah, sementara eskalasi kebencian orang-orang musyrik Mekkah semakin menjadi-jadi. 

Masing-masing kelompok bersikeras dengan sikapnya. Kepongahan kaum musyrikin sudah melampaui ambang batas, mereka menyiksa tokoh-tokoh Islam yang memiliki kedudukan penting. 

Seorang bapak menyiksa sang anak, ibu memusuhi putera sendiri, seorang tuan menyiksa budaknya. Bahkan mereka tak segan-segan menimpakan segala macam siksa terhadap Rasul yang mulia. 

Rupanya kaum pendurhaka itu tahu bahwa melukai Rasulullah taruhannya sangat besar. Tak ayal, akhirnya para sahabat yang kena batunya: mereka disiksa siang-malam tiada henti. Paman Nabi, Abu Thalib, ---yang mempunyai kedudukan terhormat dalam suku Quraisy saat itu-- berusaha melerai.

Penyiksaan itu terus berlanjut. Di awal tahun kelima kenabian, penyiksaan mencapai klimaksnya. Tak tahan menderita siksa dan ancaman, sebagian sahabat meminta izin kepada Rasulullah untuk pergi ke luar Mekkah. Ketika itu wahyu turun, menyebutkan bahwa bumi masih terhampar luas untuk didiami. Wahyu Tuhan itu bahkan menyuruh mereka bersabar atas segala cobaan hidup:

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas". (QS Azzumar: 10).

Rasulullah merenung sejenak. Tampaknya Rasulullah saw sadar bahwa kerajaan Habasyah saat itu tidak diganggu tangan-tangan jahil. Maka Rasulullah saw mengarahkan sahabat yang hendak hijrah untuk pergi ke Etiophia. 

Saat itu jumlah mereka yang hijrah hanya enam belas orang, dua belas laki-laki dan empat orang perempuan yang dikomandani langsung oleh Utsman bin Affan ra dan isterinya, Raqiyyah binti Rasulullah saw. "Mereka (Ustman dan Raqiyah) adalah 'rumah' pertama hijrah fii sabilillah, setelah Ibrahim dan Luth alaihimassalam", kata Rasulullah. (Zaadul Ma'ad: 1/24).

Yang menarik, para pentolan yang memiliki semangat hijrah pada saat itu ternyata orang-orang yang memiliki power secara politis di masyarakat. Bisa dilihat misalnya hampir seluruh kaum imigran itu adalah dari suku Quraisy, selain Abdullah Ibnu Mas'ud ra. Coba bayangkan, apa faktor yang menjadi penyebab mereka terdorong untuk hijrah sebelum para sahabat lain melakukan yang sama?

Wallahu a'lam. Namun yang pasti para sahabat ketika itu mempunyai obsesi yang sama, yaitu menutupi semua kekurangan yang dapat mencederai kesempurnaan "tour" yang penuh berkah tersebut. 

Seandainya para pelaku hijrah (kaum muhajirin) itu dipilih hanya orang yang berdaya lemah dalam konsolidasi, sosialisasi dan beradaptasi dengan keturunan Quraisy, sedangkan pihak lawan ---kaum musyrikin Mekkah--- lebih unggul dari mereka, sesuatu yang mengerikan pasti terjadi: mereka akan digempur habis-habisan oleh kaum Musyrikin di tengah perjalanan ke Etiophia. 

Bayangkan, tidak ada seorang anggota keluargapun yang mencegah nabi dan sahabat hengkang dari tanah yang dicintainya menuju suatu jarak yang sangat jauh, tak ada ikatan emosional apapun yang merajut simpul-simpul ukhuwah mereka untuk menjadi tameng atas darah saudaranya sendiri.

Tapi itu tidak terjadi, dan orang-orang pilihan Rasulullah saja yang akhirnya berimigrasi ke Ethiopia.

Panglima muhajirin adalah tulang punggung kontruksi sosial kaum Quraisy. Karena itu, kaum musyrikin itu tak mungkin sanggup memerangi mereka sebelum para sahabat menginjakkan kaki di Ethiopia. Di sinilah mukjizat itu terjadi: para sahabat memilih Rajab -bulan yang diagungkan kaum musyrikin untuk berperang menghadapi kaum Muslimin- demi kenyamanan perjalanan hijrah itu sendiri. Karenanya tidak ada perang meletus, tak ada darah yang dihalalkan pada bulan tersebut.

Mereka mengorbankan kenikmatan dunia dan sesuap nasi karena keimanan di dasar kalbu meluapkan hati menjadi cahaya yang memancar penuh benderang, mengusap kalbu hingga mensucikan dari segala aspek kebendaan duniawi sebagai manifestasi cinta dan wujud pengagungan terhadap-Nya. Tak ada rasa takut, kecewa, gundah atau gulana selain mengikuti garis-garis ridha dan menjauhi kemurkaan-Nya.

Demikian itu adalah sunnatullah yang tak bisa ditawar-tawar atau ditukar dengan apapun. Allah mengingatkan tentang sesuatu kaum yang akan memporandakan pondasi iman kaum Muslimin, namun pertolongan Allah tak akan pernah membelakangi kontinyuitas keimanan kaum Muslimin. Allah swt berfirman:

Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: "Kamisungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami, atau kamu kembali kepada agama kami". Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: "Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu, dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu orang-orang yang takut kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku". (QS. Ibrahim:13-14).