Hilangnya Rasa Malu Berarti Hilangnya Kebaikan
Hilangnya rasa malu berarti hilangnya kebaikan. Pernyataan ini dilontarkan cendekiwan Muslim Ibnu Qayyim. Sebab, ia beranggapan, jika rasa malu telah hilang dari diri seseorang, itu akan mendorongnya berbuat sekehendak hati tanpa mempertimbangkan apakah apa yang ia kerjakan melahirkan kebaikan atau keburukan.
Seorang Muslim sangat dianjurkan memelihara rasa malu pada dirinya. Malu menjadi tameng bagi munculnya perilaku yang tak baik dalam kehidupannya. Tak heran jika Ibnu Allan memaknai rasa malu sebagai sebuah etika yang mendorong seseorang meningalkan keburukan.
Baik keburukan dalam bentuk perkataan, perbuatan, maupun sikap yang mencegah seseorang dari kelalaian melaksanakan hak orang lain. Menurut Mahmud al-Mishri dalam Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW, rasa malu itu ada dua, yaitu yang merupakan bawaan dan yang lahir karena diupayakan melalui latihan dan kerja keras.
Malu yang dicapai melalui latihan ditetapkan oleh Rasulullah sebagai cabang dari keimanan. Dalam praktiknya, dua macam rasa malu itu bersemayam dalam dirinya. Ia memang seorang pemalu karena bawaannya memang begitu. Ia pun melambari dirinya dengan rasa malu berbuat maksiat dan melanggar aturan.
Oleh karena itu, Muhammad menganjurkan umatnya untuk menghiasi diri dengan rasa malu yang akan membimbing mereka tetap pada perbuatan-perbuatan baik. Beliau mengatakan, rasa malu itu tidak akan datang kecuali pasti membawa kebaikan. Demikian hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
Rasul menjelaskan, rasa malu dan diamnya lisan karena takut terjatuh pada perkataan haram adalah bagian dari keimanan. Sebaliknya, ucapan cabul serta kefasihan lisan tetap bukan dalam hal kebenaran. Keduanya adalah bagian dari kemunafikan. Bahkan, rasa malu dan keimanan dianggap sebagai pasangan yang tak terpisahkan.
Jika sudah demikian, kata Ibnu Qayyim, Muslim akan malu melakukan perbuatan yang buruk, termasuk tindak kriminal. Rasa malu lain yang dianjurkan adalah malu karena merasa lemah. Hal seperti ini dicontohkan para malaikat yang selalu melantunkan tasbih dan pujian kepada Allah SWT setiap saat.
Seorang Muslim sangat dianjurkan memelihara rasa malu pada dirinya. Malu menjadi tameng bagi munculnya perilaku yang tak baik dalam kehidupannya. Tak heran jika Ibnu Allan memaknai rasa malu sebagai sebuah etika yang mendorong seseorang meningalkan keburukan.
Baik keburukan dalam bentuk perkataan, perbuatan, maupun sikap yang mencegah seseorang dari kelalaian melaksanakan hak orang lain. Menurut Mahmud al-Mishri dalam Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW, rasa malu itu ada dua, yaitu yang merupakan bawaan dan yang lahir karena diupayakan melalui latihan dan kerja keras.
Malu yang dicapai melalui latihan ditetapkan oleh Rasulullah sebagai cabang dari keimanan. Dalam praktiknya, dua macam rasa malu itu bersemayam dalam dirinya. Ia memang seorang pemalu karena bawaannya memang begitu. Ia pun melambari dirinya dengan rasa malu berbuat maksiat dan melanggar aturan.
Oleh karena itu, Muhammad menganjurkan umatnya untuk menghiasi diri dengan rasa malu yang akan membimbing mereka tetap pada perbuatan-perbuatan baik. Beliau mengatakan, rasa malu itu tidak akan datang kecuali pasti membawa kebaikan. Demikian hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
Rasul menjelaskan, rasa malu dan diamnya lisan karena takut terjatuh pada perkataan haram adalah bagian dari keimanan. Sebaliknya, ucapan cabul serta kefasihan lisan tetap bukan dalam hal kebenaran. Keduanya adalah bagian dari kemunafikan. Bahkan, rasa malu dan keimanan dianggap sebagai pasangan yang tak terpisahkan.
Jika sudah demikian, kata Ibnu Qayyim, Muslim akan malu melakukan perbuatan yang buruk, termasuk tindak kriminal. Rasa malu lain yang dianjurkan adalah malu karena merasa lemah. Hal seperti ini dicontohkan para malaikat yang selalu melantunkan tasbih dan pujian kepada Allah SWT setiap saat.
Sumber: Republika