Keraton Yogyakarta Tolak Jokowi-Mega karena Bawa Aura Negatif?
Oleh: Muda Saleh
Analis Sosial Universitas Bung Karno
Keraton Yogyakarta dikabarkan menolak kedatangan Joko Widodo dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri pada Sabtu (23/3/2019) lalu. Bahkan Jokowi dan rombongan tidak memberikan keterangan pers kepada awak media yang menunggunya usai pertemuan tersebut.
Meski memang, Yogyakarta sempat dikagetkan dengan adanya ancaman dari sang petahana, Joko Widodo yang akan melakukan perlawanan terhadap siapa saja yang berusaha menjatuhkan dirinya. Hal ini ia ungkapkan pada saat memberikan orasi di hadapan pendukungnya, di Stadion Kridosono Yogyakarta, Sabtu (23/3/2019) siang.
Tentunya, ini menjadi bagian yang mencuri perhatian publik, dimana seorang pemimpin berusaha mengajak masyarakat untuk merasakan keresahan pribadi yang terjadi padanya.
Tapi ini Yogyakarta, kita harus mengingat bahwa daerah istimewa tersebut adalah wilayah yang memiliki ciri khas tersendiri di Indonesia, itu karena disebut daerah istimewa.
Dimana pada kerusuhan 1998, Yogyakarta tidak mendapat pengaruh besar, meski seluruh rakyat tumpah ruah ke jalan. Mengapa? karena pengaruh Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) X jelas besar dalam menentukan keamanan di wilayahnya.
Sultan HB X sebagai raja jelas terlihat berhasil mengayomi masyarakat dalam kondisi genting dan penuh ketegangan serta provokasi. Dikabarkan banyak media, Sultan HB X berkeliling ke seluruh wilayah Yogyakarta menenteramkan hati rakyat yang panas.
Itulah mengapa ada istilah ‘Pisowanan Ageng’ dimana situasi yang menunjukkan sebuah ritual pertemuan antara rakyat dan raja dalam tradisi keraton.
Tak dapat dipungkiri, Sultan menjadi faktor penentu, mengapa Yogyakarta tidak mengalami kerusuhan seperti yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Semoga saya tidak salah, dalam peristiwa bersejarah di sana (Yogyakarta) ada sejumlah warga yang menggunakan rompi dengan bahan blacu yang dilubangi, hal ini untuk menandakan adanya relawan yang turun untuk memberikan ketenangan pada kondisi tersebut.
Meski memang, tercatat dalam sejarah bahwa ada korban jiwa, seingat saya.. yakni Mozes Gatutkaca, warga Gang Brojolamatan, Mrican, Depok Sleman. Menurut catatan sejarah, ia meninggal setelah terjadi peristiwa aksi di Jalan Gejayan yang saat ini berganti nama menjadi Jalan Affandi, Sleman, DIY. Dimana saat itu diberitakan ribuan mahasiswa dari berbagai kampus berkumpul di Jalan Gejayan untuk menuntut Soeharto turun.
Hal inilah yang mendasari, mengapa akhirnya Jokowi terkesan mendapat penolakan seperti yang diberitakan sejumlah media, hari ini. Karena Jokowi menumpahkan amarahnya di kota yang penuh kedamaian, bermartabat serta menjunjung tinggi adat dan budaya.
Artinya, jika benar Keraton menolak kedatangan Jokowi-Mega, pada Sabtu (23/3/2019) lalu, hal itu mudah sekali untuk diketahui, karena aura negatif terpancar dari semangat Jokowi yang menggebu-gebu untuk menyatakan perang terhadap lawan politiknya. Namun hal ini tentunya tak berlaku di Yogyakarta.
Padahal seharusnya, sebagai pemimpin, Jokowi bisa memberikan stimulus dan membangun semangat bansa Indonesia untuk bisa bersaing di dunia, baik dari berbagai macam sektor yang ada.
Jokowi tampaknya belum mampu memahami bagaimana rakyatnya, ideologi Pancasila, konsep Trisakti yang diperjuangkan sang proklamator (Soekarno). Indonesia adalah bangsa yang besar, Indonesia butuh pemimpin yang memahami rakyatnya untuk membawa kembali kejayaan pada masa keemasan Soekarno, dimana Indonesia diakui di dunia.
Jakarta, 25, Maret 2019.